
reelsparimo.com, Parigi Moutong – Wacana Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk menerbitkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) baru di Parigi Moutong, mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Sejumlah pemerhati lingkungan dan masyarakat menilai langkah itu berpotensi menimbulkan persoalan baru jika dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas.
Dalam wawancara bersama tim Reelsparimo di Parigi, 1 Oktober 2025, salah satu pemerhati lingkungan menegaskan bahwa penerbitan IPR yang terburu-buru justru bisa memperluas aktivitas tambang ilegal di wilayah Kabupaten Parigi Moutong dan sekitarnya.
“Jangan karena alasan maraknya tambang ilegal, pemerintah lalu tergesa-gesa menerbitkan IPR. Itu bukan solusi, malah bisa memperbesar masalah. Yang tadinya kecil, nanti meluas karena dibekingi pihak-pihak kuat di lapangan,” ujarnya.
Ia menyebut, dirinya tidak menolak konsep tambang rakyat sepanjang dikelola secara ramah lingkungan dan tidak menggunakan alat berat. Namun ia menilai, izin yang dikeluarkan tanpa pengawasan ketat hanya akan memperparah kerusakan alam dan memicu konflik sosial.

“Pengalaman di banyak tempat, begitu izin keluar, alat berat masuk, aparat desa dan preman lokal ikut bermain. Masyarakat kecil jadi korban,” tambahnya.
Pemerhati tersebut juga menyoroti dampak langsung terhadap masyarakat pesisir. Ia mengatakan, aktivitas tambang di daerah hulu telah menyebabkan sedimentasi berat di laut hingga mengganggu hasil tangkapan nelayan.
“Dulu nelayan cukup melaut 5 sampai 10 mil sudah dapat ikan. Sekarang harus 30 mil lebih. Ini bukti nyata dampak tambang yang tidak dikendalikan,” tegasnya.
Sementara itu, salah satu narasumber yang menggugat Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melalui mekanisme Citizen Lawsuit (CLS) juga angkat bicara. Ia mengingatkan, Pemprov tidak boleh menerbitkan IPR baru sebelum menetapkan Peraturan Daerah (Perda) terkait iuran dan tata kelola IPR, sebagaimana yang telah diatur dalam akta kesepakatan Pengadilan Negeri Parigi Moutong.
“Kami hanya mengingatkan pemerintah, jangan melanggar kesepakatan yang sudah disahkan oleh pengadilan. Dalam akta itu jelas disebutkan, perda tentang iuran IPR harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum izin baru diterbitkan,” ujarnya kepada Reelsparimo.
Ia menegaskan, apabila pemerintah tetap memaksakan penerbitan izin tanpa perda, maka tindakan tersebut dapat dianggap melanggar asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
“Kalau Pemprov tetap keluarkan izin tanpa perda, berarti mereka mengabaikan hasil gugatan masyarakat dan melanggar komitmen hukum yang sudah disepakati,” tegasnya.
Masyarakat Minta Regulasi Diperkuat
Baik pemerhati lingkungan maupun warga penggugat sepakat bahwa pemerintah daerah perlu memperkuat regulasi dan memperluas keterlibatan publik sebelum menerbitkan izin tambang rakyat.
Mereka menilai, setiap kebijakan terkait pertambangan harus melibatkan semua pihak yang terdampak, termasuk warga pesisir, petani, dan masyarakat adat di sekitar wilayah operasi tambang.
“Jangan hanya undang masyarakat di lokasi tambang. Dampaknya dirasakan luas sampai ke pesisir dan laut,” kata pemerhati tersebut.
Mereka juga mendesak agar pemerintah menuntaskan lebih dulu persoalan tambang ilegal yang masih marak sebelum menerbitkan izin baru.
“Sebelum bicara izin baru, bersihkan dulu tambang ilegal dan perbaiki alam yang rusak. Jangan karena alasan perut segelintir orang kecil, isi perut masyarakat banyak justru dikorbankan,” ujarnya menutup.
Gugatan masyarakat lewat Citizen Lawsuit menjadi pengingat bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah agar tidak melangkah di luar koridor hukum. Penetapan perda tentang IPR bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari tanggung jawab pemerintah dalam memastikan tambang rakyat berjalan secara adil, legal, dan berkelanjutan.
Langkah kehati-hatian ini diharapkan mampu mencegah terulangnya kerusakan lingkungan dan konflik sosial yang selama ini membayangi aktivitas pertambangan rakyat di Parigi Moutong.